Skip to main content

THE WORLD I KNOW..today!

"In generosity and helping others, be like a river. In compassion and grace, be like the sun. In concealing other's faults, be like the night. In anger and fury, be like dead. In modesty and humility, be like the earth. In tolerance, be like the sea. Either appear as you are, or be as you appear."
(Mevlana Rumi)

CAFE PERDIEM.. not CARPE DIEM

Fuck all the system, fuck all the religions. Fuck allbut MONEY .
I don't mind to fool the moslems withtwisted, manipulated and that one sided fucking news.
I will do anything possible if it can raise theMONEY.
I don't care about blasphemy to Christian's creed as long as it can turn into MONEY.
That is why I print the Gospel of Judas and sell theda Vinci code books, Gramedia said.

bahkan seorang teman ku pernah menyebut seluruh media mainstream di Indonesia lebih percaya pada adagium BAD NEWS IS GOOD NEWS.
hari ini informasi, berita, dan produk media (mainstream) di belahan dunia manapun adalah komoditas. kalaupun ada yang bersikukuh dengan etik jurnalistik, mari kita blejeti satu persatu selubung kepentingan industri media saat ini.

In recent decades, spectacle culture has evolved significantly. Spectacle culture has expanded in every area of life. Every form of culture and society more and more spheres of social life are permeated by the logic of spectacle. Opening years of the new millennium were rich in spectacle, making it clear that the construction of media spectacle in every realm of culture was one of the defining characteristics of contemporary culture and society.
(selengkapnya baca: Understanding the media culture and spectacle culture di http://yodha-sarasvati.blogspot.com/2006/05/understanding-media-culture-and.html )

industri media berhasil menerobos sekat-sekat universalisme fungsi media bagi peradaban. bagi teman ku, yang kebetulan pernah mengecap nikmatnya bekerja pada industri media sekelas KOMPAS, kehadiran informasi abad ini bukan lagi menjadi kebutuhan personal pun komunitas dengan lokus-lokus kepentingannya. informasi tidak lain adalah komoditas budaya industri --yang sialnya sarat modal kapital dan kepentingan politik. masih beruntung KOMPAS di sebagian kaum menengah terdidik tetap mendapat hati terutama di hari sabtu dan minggu (info pekerjaan yang ditunggu-tunggu..wakakak!)
selama ini kritik terhadap media, khususnya di Indonesia, lebih terfasilitasi justru di halaman media mainstream seperti KOMPAS, REPUBLIKA, SUARA PEMBARUAN, MEDIA INDONESIA etc. alih-alih demi kepentingan konsumen --lagi-lagi idiom industri-- dikedepankan, yang terjadi malah kita semakin jenuh dengan komentar bahasa langit.
perang besar korporasi industri media telah menabuh genderangnya sejak media cetak berlomba-lomba memperluas jenis komoditasnya, dimulai --kalau tidak salah-- dengan mengudaranya METRO TV sebagai perluasan MEDIA INDONESIA. KOMPAS? baru-baru ini saja kelihatannya menyusul nikmatnya korporasi media semisal MNC (RCTI-GLOBAL-TPI) dan TNC (ANTEVE-STAR TV), menggandeng kreator-kreator muda TRANS TV dengan menyediakan lahan TV7 untuk digarap. menyusul korporasi JAWA POS dengan ribuan RADARnya yang masih bertahan dengan lokalitas JTVnya. selamat datang industri media.. modernitas ala pencerahan Eropa bilang: inilah kemajuan peradaban... inilah era kemenangan rasio dan rasionalitas... hati-hati nanti kepleset jadi sekedar rasionalisasi.. hahaha...
mari kita rayakan saja bentuk-bentuk teratur dunia saat ini.. bentuk-bentuk keseragaman yang indah bagi manusia modern. butuh info yang sesuai keinginan dan kepentingan pribadi semata, tinggal pilih... meski untuk itu "aku" dan "kelompokku" menjadi lebih penting daripada "mereka".
tokh, rejim informasi sekelas CNN harus tersipu tunduk malu dengan sekelompok jurnalis didikan BBC yang membelalakkan mata dunia pada era perang teluk beberapa waktu lalu. al-jazeera! yap, akhirnya hegemoni CNN pun harus digugat. bagaimana dengan KOMPAS? walah, buat yang satu ini seh.. agak lihai mendikte kemasannya. ada yang tahu bagaimana KOMPAS begitu tolerannya terhadap kelompok-kelompok intelektual "liberal" di Indonesia, khususnya yang masih muda, progresif dengan syarat non politis? walah.. berat.. berat... too bad we are catholic jika harus bicara KOMPAS the savior and avantgarde kepentingan "kita". ups, subyektif sekali neh...
even KOMPAS and the other gigantic mainstream media in Indonesia punya banyak potensi melukai keadaban informasi publik, pastinya peran besar telah dilahirkan gratis untuk kita.
KITA JADI KRITIS membaca sebaran informasi yang disajikan mereka, lepas dari selubung gula-gula kepentingan ekonomi-politik industri media. dan boleh-boleh saja kita membuat media sendiri yang lebih jujur bicara subyektifitas, klaim-klaim nilai atas pembacaan terhadap kehidupan sehari-hari, tanpa iklan --propaganda komoditas-- dan batasan editorial politik redaksi. pertanyaannya sekarang: siapa yang mau memulai? dan darimana kita mulai? ... hiks hiks sedih deh kalau sudah sampai sini.
aku memilih untuk mulai dari ungkapan jawa.. "titen" yap, yoppie n tjatur boleh tertawa..hahaha... teman pesantren ku bilang dalam ungkapan arab "iqra".. dan pelajaran sejarah bilang manusia di setiap era selalu menyatakan dalam bentuk produksi budaya "tanda" dan "penanda"... melihat dengan teliti dan penuh perhatian sama dengan membaca lebih jujur setiap pengalaman sama dengan memproduksi ingatan dengan bentuk-bentuk material yang berguna untuk siapa saja. milan kundera bilang: perjuangan melawan kuasa (yang menindas) adalah perjuangan ingatan melawan lupa...
terima kasih banyak teman-teman memberikan ku "tanda" dan jejak-jejak humanisme subtil dalam gojeg kere, ungkapan spontan, bahkan pembicaraan serius pengalaman sehari-hari. bagiku itulah MEDIA.. bukan KOMPAS, Liputan 6 SCTV, CNN, dan media industri gosip-hiburan (infotainment)... anggap saja mereka adalah panel billboard penghias kota dan hiburan sesaat saat terjebak kemacetan dan kejumudan hidup.. terutama di kota tempat pertarungan budaya populer berada. wuih...
WORK HARD PARTY HARD banget neh.. welcome to PARANOIA kata O-channel TV.
walah...

Don't Hate the MEDIA, Be The MEDIA!

somebody tell me.
why it feels more real when i dream
than when i am awake?

how can i know if my senses are lying?
there is some fiction in your truth,
and some truth in your fiction.

to know the truth, you must risk everything.
who are you?
am i alone?

Comments

Popular posts from this blog

[indonesiamembaca] Taman Bacaan Masyarakat

Taman Bacaan Masyarakat Catatan yang tertinggal namun patut untuk disimak. Perjuangan Membangun Budaya Membaca dan Menulis Oleh : Virgina Veryastuti Negeri ini semakin terpuruk setiap harinya, ketika semua yang diinginkan dapat diraih dengan mudah alias serba instant, masyarakat tak lagi menyukai sebuah proses yang membutuhkan waktu lebih lama. Mulai dari pemrosesan makanan hingga budaya belajar dapat dilakukan secara instant. Membuat generasi muda tak lagi mau belajar apalagi membaca, sebuah ancaman serius bagi masa depan sebuah bangsa. Jakarta (21/2) Dalam sebuah acara diskusi pengantar literasi yang bertajuk : Pengalaman Komunitas Basis Membangun Budaya Membaca dan Menulis Berbasis Perpustakaan bertempat di Perpustakaan Diknas, Siti Nuraini ketua harian Family Education Series (FEDus) mengungkapkan bahwa "Wajah anak bangsa saat ini begitu mengkhawatirkan, menurut data diknas tahun 2004-2005, sekitar setengah dari 85 juta jumlah anak Indonesia tidak bersekolah. Dan perin
Bob Marley, Sang Pemantra Rasta Yusuf Arifin Kalau Jah (Tuhan) tidak memberiku lagu untuk aku nyanyikan, maka tak akan ada lagu yang bisa aku nyanyikan. (Bob Marley, mati dari bumi 11 Mei 1981) Gedung London Lyceum malam musim panas tahun 1975. Tanggalnya 18 dan 19 Juli. Konon di dua malam inilah Robert Nesta Marley, atau Bob Marley, tuntas memenuhi suratan nasibnya; menasbihkan dirinya sendiri menjadi pengkhotbah untuk kaumnya, kaum Rastafarian. Benar bahwa sejak sekitar akhir tahun 60an Bob Marley telah menjadi salah satu pengkhotbah paling fanatik kaum Rastafarian. Tetapi dua malam di gedung pertunjukan tua Inggris itu Bob Marley mencapai kesempurnaan yang hanya bisa diimpikan oleh banyak pemusik besar dunia, siapapun ia. Bob Marley mencapai titik ekstase transendental di atas panggung. Panggung, bagi pemusik, adalah altar untuk mencari ekstase transendental yang tak bisa mereka dapatkan di dunia yang materialistik. Pengganti altar gereja, saf-saf masjid, teras-teras candi atau ap

KUCING, SITI, JOKO dan KAMTO

KUCING, SITI, JOKO dan KAMTO (TOTO RAHARJO) Hampir setiap hari, dari pagi sampai sore hujan tak kunjung reda-memang sedang musimnya. Tapi banyak orang mengatakan salah musim (salah mangsa), pertanda bahwa metabolisme kehidupan ini sedang amburadul. Di rumah masing-masing: Siti, Joko dan Kamto masing-masing menemukan seekor kucing yang tengah berteduh di teras rumah dalam keadaan basah kuyup dan kedinginan. Melihat keadaaan kucing yang kelihatan memelas itu – Siti, Joko dan Kamto tergerak hatinya untuk menolong kucing tersebut dengan mempersilahkan kucing itu masuk ke dalam rumah. Apa yang dilakukan Siti, Joko dan Kamto terhadap kucing tersebut? Siti, ternyata tidak hanya sekadar menolong kucing dari kedinginan, dia juga tergerak hatinya untuk memelihara sekaligus mendidiknya. Karena Siti tidak mau maksud baiknya terhadap si Kucing itu kelak di kemudian hari justru malah merugikan, contohnya: Siti tidak mau kucing itu kencing dan berak di sembarang tempat, dia ju