Skip to main content

Intelektual, Aktivis dan Perubahan Sosial

Intelektual, Aktivis dan Perubahan Sosial
(1)
Berikut ini adalah cukilan artikel yang ditulis oleh Antariksa, Intelektual, Gagasan Subaltern, dan Perubahan Sosial, © 1999-2004 KUNCI Cultural Studies Center:
Peran intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial telah lama menjadi bahan perdebatan, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Secara ringkas, bisa digambarkan bahwa sebagian berpendapat intelektual seharusnya “berumah di atas angin”. Artinya tugas utamanya adalah bergelut dengan teori dalam bidang yang dipelajarinya di universitas atau lembaga-lembaga penelitian. Karena peran seperti itulah yang memang harus dimainkannya dalam proses perubahan sosial. Biarlah para politisi, teknolog, dan ekonom saja yang terlibat dalam perancangan dan perubahan sosial. Sebagian lainnya berpendapat bahwa intelektual seharusnya “turun ke bumi”, berpartisipasi langsung dalam proses perancangan dan perubahan sosial.
Perdebatan yang kelihatan terlalu “hitam-putih” itu tampaknya kini sudah mulai dilupakan. Bukan saja karena keduanya sama-sama benar sekaligus sama-sama salah, atau karena masing-masingnya punya kelemahan epistemologis sekaligus saling melengkapi, tetapi juga karena terlalu “hitam-putih” dan terlalu “steril”, sementara kondisi-kondisi sosial dan politik yang menjadi latar belakangnya terus berubah.
Sekedar contoh, perdebatan itu akan sulit menjelaskan banyaknya aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di luar universitas yang melibatkan diri dalam penelitian-penelitian akademis, dan juga sebaliknya, makin banyaknya intelektual universitas yang melibatkan diri dalam proses pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM-LSM, perancangan sosial dan pengambilan kebijakan. Memang ini bisa saja menjadi soal pilihan. Tetapi jelas jauh lebih kompleks dari sekedar pilihan “berumah di atas angin” atau “turun ke bumi”, karena melibatkan perubahan-perubahan dalam struktur dan formasi kultural, sosial, ekonomi, dan politik, baik di tingkat global maupun di tingkat lokal, sehingga bukan saja akan menentukan peran intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial, tetapi juga menentukan arah dan bentuk keberpihakan intelektual.
* * *
(2)
Terlepas dari perdebatan yang ada, saat ini ditengarai terdapat gejala timbulnya kerancuan teoritik dan paradigmatik dari banyak aktivis lapangan. Dasar teoritik dan visi ideologis mengenai perubahan sosial sebagai landasan dan aktivitas praktik sehari-hari bertolak belakang dengan tujuan dan cita-cita perubahan sosial. Pemahaman tentang paradigma dan teori perubahan sosial menjadi pijakan untuk mengidentifikasi, memahami, dan menangani masalah-masalah kemasyarakatan. Lemahnya visi ideologi dan teori perubahan sosial mempengaruhi metodologi yang diterapkan. Banyak terjadi, organisasi sosial menempatkan masyarakat sebagai obyek, padahal sementara itu bercita-cita pemberdayaan masyarakat.Semisal dalam merencanakan, menyusun, menetapkan program pengembangan masyarakat maupun dalam mengevaluasi kegiatan. Kegiatan banyak mencerminkan anti-pemberdayaan masyarakat. Akibat ketidakjelasan visi dan teori diantaranya, inkonsistensi antara cita-cita dan teori yang digunakan, menghambat peran dan partisipasi masyarakat dalam perubahan sosial, yaitu peran masyarakat sipil sebagai pelaku sejarah utama dalam demokratisasi ekonomi, politik, budaya, gender, serta aspek sosial lainnya. Hal ini menjadi refleksi terhadap apa yang dilakukan di tingkat akar rumput.
Asumsinya, aktivis lapangan dan praktisi perubahan sosial dalam memperjuangkan “social justice”, politik dan ekonomi yang demokratis, serta pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat adil sejahtera butuh teori sebagai acuan, refleksi dan motivasi. Tugas utama teori sosial diantaranya, memberi makna terhadap suatu realitas sosial sehingga memungkinkan lahirnya kesadaran dan pemahaman terhadap suatu realitas sosial, dan “mengubah realitas sosial” yang dianggapnya bermasalah dan tidak adil sehingga sampai sekarang masalah tersebut masih diperdebatkan. Tanpa disadari, aktivis terlibat pertarungan teoritis secara nyata, berupa penerapan teori dan kegiatan sehari-hari dan tanpa disadari teori sosial juga memiliki dimensi penerapan.
Dalam perspektif teori sosial kritis, ilmu sosial tidaklah sekedar diabdikan demi kepentingan golongan lemah dan tertindas, tetapi lebih mendasar daripada itu, teori sosial haruslah berperan dalam proses pembangkitan kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang menindas, terhadap sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Teori sosial harus mengabdi pada proses transformasi sosial yakni terciptanya hubungan (struktur) yang baru dan lebih baik. Artinya, ilmu sosial tidak hanya sekedar memihak kepada yang tertindas dan yang termarjinalisasi belaka, tetapi lebih berusaha menciptakan ruang yang akan menumbuhkan kesadaran, baik bagi golongan penindas maupun yang tertindas, untuk menyadari bahwa mereka telah berada dalam sistem sosial yang tidak adil. Dengan demikian, tugas teori sosial adalah memanusiakan kembali manusia yang telah lama mengalami dehumanisasi, baik yang menindas maupun yang ditindas.
* * *
Hanyalah teori yang dapat melengkapi kita dengan kompas dan peta di tengah-tengah segala rupa kompleksitas perjuangan. Sungguh bagus untuk menjadi seorang aktivis, namun tanpa pemahaman yang sadar mengenai proses-proses di mana kita terlibat di dalamnya, kita tidak akan lebih efektif daripada seorang penjelajah tanpa peta dan kompas.
Dan jika kita coba untuk menjelajah tanpa bantuan sains, kita dapat menjadi seenergik yang kita mau tetapi cepat atau lambat akan terjerembab masuk jurang dalam atau pasir hisap dan lalu hilang begitu saja, sebagaimana hal itu terjadi pada banyak aktivis selama tahun-tahun yang sudah berlalu tanpa keberhasilan. Ide memiliki kompas dan peta adalah untuk memastikan posisi kita setepatnya. kita dapat menerka di mana kita berada pada satu saat tertentu, ke mana kita akan melangkah, dan di mana kita akan berada.
Penelitian, dalam hal ini penelitian sosial adalah ruang aktivitas sekaligus uji terapan teori terkait dengan perubahan sosial. Artinya, baik aktivis maupun intelektual akademis menggunakan penelitian dalam kerangka perubahan sosial di masyarakat, sebagai basis argumen dan data yang rigid, teliti, dan mendalam. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sangat berperan dalam hal ini.
* * *
Learning Institute Purwokerto berdiri tahun 2004 dan direaktivasi tahun 2005. Learning Institute, lembaga yang bergerak dalam ranah kajian politik dan kebudayaan dengan spektrum yang luas, serta telaah yang jernih dan mendalam. Hanya berpretensi untuk merayakan kebebasan berpikir dan berpendapat, mengkaji fenomena politik dan kebudayaan secara utuh, mandiri dan terpola. Ia bisa saja menyempit dan meluas, namun tetap berusaha dalam. Dengan itikad sederhana, ingin mencipta komunitas yang suka membaca, gemar berdiskusi, getol menulis dan senang belajar. Itu saja. Pendek kata, ini memang hanya semata-mata lembaga pembelajaran.

Comments

Popular posts from this blog

[indonesiamembaca] Taman Bacaan Masyarakat

Taman Bacaan Masyarakat Catatan yang tertinggal namun patut untuk disimak. Perjuangan Membangun Budaya Membaca dan Menulis Oleh : Virgina Veryastuti Negeri ini semakin terpuruk setiap harinya, ketika semua yang diinginkan dapat diraih dengan mudah alias serba instant, masyarakat tak lagi menyukai sebuah proses yang membutuhkan waktu lebih lama. Mulai dari pemrosesan makanan hingga budaya belajar dapat dilakukan secara instant. Membuat generasi muda tak lagi mau belajar apalagi membaca, sebuah ancaman serius bagi masa depan sebuah bangsa. Jakarta (21/2) Dalam sebuah acara diskusi pengantar literasi yang bertajuk : Pengalaman Komunitas Basis Membangun Budaya Membaca dan Menulis Berbasis Perpustakaan bertempat di Perpustakaan Diknas, Siti Nuraini ketua harian Family Education Series (FEDus) mengungkapkan bahwa "Wajah anak bangsa saat ini begitu mengkhawatirkan, menurut data diknas tahun 2004-2005, sekitar setengah dari 85 juta jumlah anak Indonesia tidak bersekolah. Dan perin
Bob Marley, Sang Pemantra Rasta Yusuf Arifin Kalau Jah (Tuhan) tidak memberiku lagu untuk aku nyanyikan, maka tak akan ada lagu yang bisa aku nyanyikan. (Bob Marley, mati dari bumi 11 Mei 1981) Gedung London Lyceum malam musim panas tahun 1975. Tanggalnya 18 dan 19 Juli. Konon di dua malam inilah Robert Nesta Marley, atau Bob Marley, tuntas memenuhi suratan nasibnya; menasbihkan dirinya sendiri menjadi pengkhotbah untuk kaumnya, kaum Rastafarian. Benar bahwa sejak sekitar akhir tahun 60an Bob Marley telah menjadi salah satu pengkhotbah paling fanatik kaum Rastafarian. Tetapi dua malam di gedung pertunjukan tua Inggris itu Bob Marley mencapai kesempurnaan yang hanya bisa diimpikan oleh banyak pemusik besar dunia, siapapun ia. Bob Marley mencapai titik ekstase transendental di atas panggung. Panggung, bagi pemusik, adalah altar untuk mencari ekstase transendental yang tak bisa mereka dapatkan di dunia yang materialistik. Pengganti altar gereja, saf-saf masjid, teras-teras candi atau ap

KUCING, SITI, JOKO dan KAMTO

KUCING, SITI, JOKO dan KAMTO (TOTO RAHARJO) Hampir setiap hari, dari pagi sampai sore hujan tak kunjung reda-memang sedang musimnya. Tapi banyak orang mengatakan salah musim (salah mangsa), pertanda bahwa metabolisme kehidupan ini sedang amburadul. Di rumah masing-masing: Siti, Joko dan Kamto masing-masing menemukan seekor kucing yang tengah berteduh di teras rumah dalam keadaan basah kuyup dan kedinginan. Melihat keadaaan kucing yang kelihatan memelas itu – Siti, Joko dan Kamto tergerak hatinya untuk menolong kucing tersebut dengan mempersilahkan kucing itu masuk ke dalam rumah. Apa yang dilakukan Siti, Joko dan Kamto terhadap kucing tersebut? Siti, ternyata tidak hanya sekadar menolong kucing dari kedinginan, dia juga tergerak hatinya untuk memelihara sekaligus mendidiknya. Karena Siti tidak mau maksud baiknya terhadap si Kucing itu kelak di kemudian hari justru malah merugikan, contohnya: Siti tidak mau kucing itu kencing dan berak di sembarang tempat, dia ju