Skip to main content

ANALISIS EKONOMI: Lebih Mandiri, tetapi Waspada

ANALISIS EKONOMI

Lebih Mandiri, tetapi Waspada
Faisal Basri

Tanggal 14 Juni lusa kembali digelar pertemuan Consultative Groups on Indonesia atau CGI. Forum yang biasanya menyepakati utang baru bagi Indonesia itu tampaknya bakal berbeda. Kali ini pemerintah sudah berketetapan untuk tidak mengajukan utang baru. Yang akan diminta adalah penambahan hibah untuk penanggulangan bencana di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Penambahan hibah juga diharapkan berasal dari pengalihan pinjaman yang telah disepakati untuk dialihkan bagi pembiayaan rekonstruksi pascagempa (Kompas, 10 Juni 2006, halaman 17).
Bagaimana seandainya jumlah hibah yang didapat tak mencukupi kebutuhan? Apakah pemerintah akan menerima tawaran utang baru untuk menutupi kekurangannya? Kita harus punya sikap tegas, yakni tak akan membiayai rekonstruksi pascagempa dengan utang luar negeri. Di luar bantuan kemanusiaan dari masyarakat internasional, kita harus mampu membiayainya sendiri. Sudah saatnya kita meningkatkan kemampuan sendiri. Momentum bencana alam kita manfaatkan untuk memacu penerimaan dalam negeri, misalnya dengan menaikkan nisbah pajak (tax ratio) sebesar 0,3 persen sehingga bisa menambah penerimaan negara sekitar Rp 9 triliun. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi untuk menunda proses rekonstruksi karena alasan kekurangan dana.
Perubahan sikap pemerintah agaknya tidak akan mengganggu, apalagi mengancam, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2006. Tanpa komitmen utang baru sekalipun, pemerintah masih tetap bisa menutup defisit APBN dari pembiayaan luar negeri, yakni dari utang yang telah disepakati tetapi belum dicairkan. Jumlahnya sangat besar, yaitu 18,5 miliar dollar AS.
Jika pemerintah konsisten dengan sikapnya yang terakhir ini, niscaya kita tak akan menambah utang baru sehingga total utang turun lebih cepat. Langkah ini selaras dengan komitmen politik bangsa untuk terus mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri sebagaimana telah kita laksanakan selama pemerintahan pascareformasi. Pada tahun 2005, rasio total utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) adalah 50 persen, yang berarti sudah terpangkas cukup banyak dibandingkan posisi tahun 2000 yang masih 84 persen. Tanpa utang baru, nisbah utang terhadap PDB tahun 2006 diperkirakan turun tajam menjadi sekitar 40 persen.
Jika kecenderungan demikian tetap bisa dipertahankan, tak ada alasan sama sekali untuk khawatir kita akan masuk ke dalam perangkap utang. Akan lebih baik lagi jika kita memperoleh fasilitas pengurangan utang. Untuk itu kita harus menyusun strategi diplomasi tersendiri dengan melibatkan organisasi nirlaba yang selama ini sangat aktif memperjuangkan pengurangan utang di fora internasional. Sekalipun barangkali keberhasilannya lebih kecil ketimbang beberapa negara berkembang yang telah menikmatinya, tak ada salahnya kita terus mencoba. Salah satu kunci keberhasilan terletak pada kemampuan kita untuk membuktikan praktik korupsi masa lalu di peradilan.
Agenda mendesak dalam jangka pendek dan menengah adalah merapikan manajemen utang luar negeri dan manajemen proyek sehingga kita bisa mengoptimalkan outstanding debt yang sudah diikat dengan komitmen, seraya kita mengingatkan pemerintah untuk tidak meningkatkan utang luar negeri dengan menerbitkan obligasi global secara proporsional dengan penurunan jumlah utang bilateral dan multilateral. Bagi kita, pengurangan stok utang luar negeri juga termasuk utang ke pasar uang internasional.

Ancaman lain
Adakah ancaman lain terhadap APBN 2006? Sementara kalangan khawatir bahwa target penerimaan pajak tak akan terpenuhi karena beberapa korporasi pembayar pajak yang besar mengalami kemunduran usaha, terutama di sektor manufaktur yang memang belakangan ini pertumbuhannya sangat rendah. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan dan patut diantisipasi. Namun, sekalipun, katakanlah, pertumbuhan ekonomi tahun 2006 lebih rendah dari tahun 2005, tampaknya sepanjang masih bisa mencapai di atas 5 persen, penerimaan dari pajak masih bisa mencapai target. Dengan penyegaran di jajaran Direktorat Jenderal Pajak baru-baru ini, kita optimistis mereka bisa sedikit lebih bekerja keras.
Ancaman dari kenaikan harga minyak tampaknya untuk sementara waktu bisa diabaikan. Hal ini karena volume impor minyak yang turun sehingga kita tak lagi sebagai pengimpor neto.
Tekanan terhadap APBN juga akan berkurang jika nilai tukar rupiah tetap bertengger di bawah asumsi APBN sebesar Rp 9.900 per satu dollar AS. Penghematan terutama didapat dari pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri. Patut dicatat, pembayaran cicilan utang luar negeri pada tahun 2006 jauh lebih besar dari penarikan pinjaman baru.
Bertolak dari gambaran tadi, bisa kita simpulkan APBN 2006 jauh lebih sehat ketimbang bayang-bayang risiko besar yang menyelimuti APBN 2005 sebelum pemerintah menaikkan harga BBM pada Oktober 2005.

Tidak lengah
Berkurangnya ancaman dari sisi fiskal (APBN) tak boleh membuat kita lengah. Perekonomian kita masih jauh dari kokoh untuk menghadapi tekanan, terutama dari gejolak eksternal. Tengok saja pergerakan rupiah dalam sebulan terakhir yang anjlok cukup tajam. Demikian pula indeks harga saham yang dalam kurun waktu kurang dari satu bulan terpangkas 20 persen.
Cadangan devisa kita memang terus meningkat tajam hingga mencapai tingkat tertinggi sepanjang sejarah sebesar 44 miliar dollar AS di akhir Mei 2006. Namun, kita harus menyadari, peningkatan cadangan devisa itu tak banyak yang berasal dari keringat kita dalam bentuk peningkatan ekspor dan keberhasilan kita memperbaiki iklim investasi.
Segala tindakan pemerintah sekecil apa pun harus diperhitungkan dengan saksama.
Membayar sisa utang ke IMF sekaligus tahun ini memang akan menambah kemandirian Bangsa. Namun, kalau biayanya sangat mahal, kita bisa merealisasikannya tahun depan.
Kita pun sudah lama berharap suku bunga bisa diturunkan. Namun, di tengah hampir semua negara maju sedang bergerak menaikkan suku bunga dan tekanan inflasi yang belum berhasil kita jinakkan, BI tampaknya untuk sementara harus tegar menerima kritikan dunia usaha yang mendesakkan penurunan suku bunga segera.

Untuk mandiri memang tak bisa gratisan!

Kompas, Senin, 12 Juni 2006

Comments

Popular posts from this blog

[indonesiamembaca] Taman Bacaan Masyarakat

Taman Bacaan Masyarakat Catatan yang tertinggal namun patut untuk disimak. Perjuangan Membangun Budaya Membaca dan Menulis Oleh : Virgina Veryastuti Negeri ini semakin terpuruk setiap harinya, ketika semua yang diinginkan dapat diraih dengan mudah alias serba instant, masyarakat tak lagi menyukai sebuah proses yang membutuhkan waktu lebih lama. Mulai dari pemrosesan makanan hingga budaya belajar dapat dilakukan secara instant. Membuat generasi muda tak lagi mau belajar apalagi membaca, sebuah ancaman serius bagi masa depan sebuah bangsa. Jakarta (21/2) Dalam sebuah acara diskusi pengantar literasi yang bertajuk : Pengalaman Komunitas Basis Membangun Budaya Membaca dan Menulis Berbasis Perpustakaan bertempat di Perpustakaan Diknas, Siti Nuraini ketua harian Family Education Series (FEDus) mengungkapkan bahwa "Wajah anak bangsa saat ini begitu mengkhawatirkan, menurut data diknas tahun 2004-2005, sekitar setengah dari 85 juta jumlah anak Indonesia tidak bersekolah. Dan perin
Bob Marley, Sang Pemantra Rasta Yusuf Arifin Kalau Jah (Tuhan) tidak memberiku lagu untuk aku nyanyikan, maka tak akan ada lagu yang bisa aku nyanyikan. (Bob Marley, mati dari bumi 11 Mei 1981) Gedung London Lyceum malam musim panas tahun 1975. Tanggalnya 18 dan 19 Juli. Konon di dua malam inilah Robert Nesta Marley, atau Bob Marley, tuntas memenuhi suratan nasibnya; menasbihkan dirinya sendiri menjadi pengkhotbah untuk kaumnya, kaum Rastafarian. Benar bahwa sejak sekitar akhir tahun 60an Bob Marley telah menjadi salah satu pengkhotbah paling fanatik kaum Rastafarian. Tetapi dua malam di gedung pertunjukan tua Inggris itu Bob Marley mencapai kesempurnaan yang hanya bisa diimpikan oleh banyak pemusik besar dunia, siapapun ia. Bob Marley mencapai titik ekstase transendental di atas panggung. Panggung, bagi pemusik, adalah altar untuk mencari ekstase transendental yang tak bisa mereka dapatkan di dunia yang materialistik. Pengganti altar gereja, saf-saf masjid, teras-teras candi atau ap

KUCING, SITI, JOKO dan KAMTO

KUCING, SITI, JOKO dan KAMTO (TOTO RAHARJO) Hampir setiap hari, dari pagi sampai sore hujan tak kunjung reda-memang sedang musimnya. Tapi banyak orang mengatakan salah musim (salah mangsa), pertanda bahwa metabolisme kehidupan ini sedang amburadul. Di rumah masing-masing: Siti, Joko dan Kamto masing-masing menemukan seekor kucing yang tengah berteduh di teras rumah dalam keadaan basah kuyup dan kedinginan. Melihat keadaaan kucing yang kelihatan memelas itu – Siti, Joko dan Kamto tergerak hatinya untuk menolong kucing tersebut dengan mempersilahkan kucing itu masuk ke dalam rumah. Apa yang dilakukan Siti, Joko dan Kamto terhadap kucing tersebut? Siti, ternyata tidak hanya sekadar menolong kucing dari kedinginan, dia juga tergerak hatinya untuk memelihara sekaligus mendidiknya. Karena Siti tidak mau maksud baiknya terhadap si Kucing itu kelak di kemudian hari justru malah merugikan, contohnya: Siti tidak mau kucing itu kencing dan berak di sembarang tempat, dia ju